"me," panggil Al sambil menyodorkan segelas cokelat panas dihadapannya. setelah pulang dari bandara sepertinya langit juga bersedih, karena kini hujan mengguyur bumi. seakan alam dapat merasakan kepedihan gadis manis ini. Al pun menaruh gelas itu di meja, memandangnya yang masih terdiam.
"apa yang diharapkan hujan ketika jatuh ke bumi?" tanya Mega membuat Al memandang gadis itu tak mengerti,
"meski ia dihujat banyak orang karena kedangannya, ia percaya akan selalu ada orang yang merindukannya." jawab gadis manis itu masih memandang sekeliling supermarket dekat bandara, terlihat banyak orang yang kesal tapi banyak juga anak kecil yang menikmati tetesan air itu.
"lihatlah, yang diharapkan sang hujan pada wajah polos itu, mungkin sama besarnya dengan harapanku ketika menantinya." lanjutnya sambil meneteskan air mata. Al yang melihat keterpurukan gadis itu hanya dapat menggenggam gelasnya erta-erat.
"tak bisakah kini kau melupakannya dan membuka hatimu? tak dapatkah kau berhenti sekarang dan melihatku saja?" tanya Al membuat Mega menoleh dan memandang sepasang mata tajam itu, dari kejauhan tanpa mereka sadari seseorang terluka.
****************
"Raga, mematikan handphonenya. apa yang harus ku lakukan sekarang?" tanya Bunga dengan nada memohon pada manajernya.
"kau tahu kan Raga baru saja kembali ke kota ini dan mau merintis bisnisnya. belum apa-apa kau telah mengacaukannya. pasti sekarang dia marah sekali padamu." jawab sang manajer khawatir.
"apa dia akan membenciku? bagaimana ini?" tanyanya bingung, ia tak ingin jauh dari lelaki pujaannya. Sekarang karena kebodohannya, ia sendiri membuat lelaki itu menjauh.
Raga memandang lukisan besar di kamarnya, lukisan sosok seorang gadis dari belakang yang jari manis kirinya terkait benang merah, ingatannya kembali ke masa tiga tahun yang lalu.
"apa ini?" tanya pemuda tampan memandang lukisan di sebuah stand pameran.
"kau datang?" suara seseorang membuat ia menoleh dan mendapati gadis yang disukainya, gadis itu tersenyum manis.
"ini adalah pameranku yang pertama, bagaimana menurutmu?" tanyanya dengan wajah gugup, membuat pemuda tampan itu memandang sekelilingnya, kemudian menaikkan punggungnya tanda tak mengeti.
"dulu, waktu aku kecil. ibu selalu bercerita bahwa bila dua orang yang mengaitkan benang merah di jari mais mereka masing-masing, mereka akan berjodoh sampai kapan pun. entah mereka pergi sejauh mungkin atau sebenci apapun, mereka akan berjodoh selamanya." ujar gadis manis itu lalu memegang tangan pemuda itu membuat sang pemuda itu gugup.
"sekarang lihatlah..."lanjutnya, membuat ia melihat lukisan seorang pemuda membelakangi mereka yang memandang ke arah bulan dan bintang dan tangannya terkait benang merah pindah ke lukisan selanjutnya yang memperlihatkan pemandangan dengan sehelai benang berlanjut ke tiga lukisan lain kemudian berhenti di sosok gadis yang membelakangi mereka memandang matahari yang terkait benang merah di jari kirinya. Pemuda tampan itu tersenyum melihatnya, ia mencuri pandang ke tangan gadis cantik itu yang masih memegang tangannya, membayangkan kedua jari manis mereka terkait benang merah. bayangan itu membuat sang pemuda tersenyum malu, lalu kembali memandang dua lukisan yang menjadi pusat tema itu, lukisan sang pemuda dan sang gadis yang berdampingan.
"apakah aku boleh membeli yang ini, me?" tanya pemuda itu, membuat gadis manis membelak.
"memang kau ada uang?" gadis itu balik bertanya,
"belum," jawab pemuda itu sambil nyengir,
"Raga, jangan aneh-aneh," balas gadis manis itu melepaskan tangannya beranjak pergi melihat pengunjung lain.
"tapi bolehkan, kau simpankan itu untukku? aku pasti membelnya." tunjuknya pada lukisan sang gadis yang memandang matahari, membuat Mega menoleh lalu tersenyum manis.
"tergantung,kau berani membeli berapa?" candanya lalu pergi.
secuil ingatan indah itu membuat Rangga tersenyum sambil memandang lukisan itu, tak jauh berbeda Mega memandang lukisan sang pemuda yang memandang bintang dan bulan di kamarnya. ia memegang pelan-pelan sosok pemuda itu di lukisan.
"Rangga, kau pernah tahu tentang harapan, bagaimana jika harapan itu dikabulkan tapi tak seperti keinginan kita, apakah kau sudah siap jika terjadi?apakah kau juga akan bersedih ataukah akan bahagia?" tanya Mega dalam hatinya memandang lukisan itu kembali.
"Ma, bukankah itu suami tante Mega?" tanya Dita pada mamanya sambil menunjuk berita di tivi, seketika Rin menghentikan aktivitas memasaknya dan memandang berita itu. ia masih mencerna berita itu kemudian berlari ke kamar shabatnya.
"Me," panggilnya lalu memeluk sahabatnya, seketika air mata Mega tumpah.
Dita yang melihat ibunya berlari segera mematikan kompor dan mengikutinya ke kamar tantenya. melihat dua orang yang disayanginya menangis ia pun ikut sedih.
*************
"mulai sekarang, lupakan pemuda brengsek itu. putuskan takdir kalian." nasehat Rin sambil menyobek lembaran-lembaran kertas wajah Rangga di dinding kamar Mega dibantu Dita, anaknya. sedangkan Mega hanya terdiam tak menjawab.
di tempat lain, Rangga tengah mabuk-mabukan ketika Bunga datang disebuah klab yang cukup terkenal di kota itu.
"Rangga,"panggil gadis cantik itu sambil merebut gelas yang dipegangnya.
"apa kau marah? maafkan aku, aku tak akan mengulanginya." ujarnya merajuk membuat Rangga memandangnya tajam dan hanya diam lalu mengambil botol minumannya lalu meneguknya.
"Rangga," panggil Bunga mulai sedih sambil menarik botol minuman itu dari lelaki pujaannya.
"berhenti, ku mohon. aku akan mengurusnya besok." lanjutnya membuat Rangga tersenyum tipis.
"tak perlu, bukankah ini yang kau inginkan?" tanyanya sinis lalu mengeluarkan uang dari dompetnya kemudian pergi. sikap dingin Rangga kembali, hati Bunga terasa sakit. ia pun menangis memandang sosok itu yang menghilang dibalik keramaian hingar bingar klab itu.
Rangga berjalan tak tentu arah dengan luka di hatinya, kenangan akan gadisnya kembali, senyumnya, candanya, marahnya. semuanya membuat hatinya sakit. langkahnya terhenti ketika mendapati sosok yang amat dirindunya terlihat nyata dihadapannya.
Mega memutuskan berjalan-jalan sebentar, ia sangat membutuhkan udara segar sekarang. ia berhenti di sebuah gang dan duduk di sebuah bangku, ia memandang jalan dengan seksama, ya, jalan inilah tempat ia pertama kali berteu dengan Rangga.
"Hei, Ya.. kau, berhenti." teriak seorang gadis manis membuat seorang pemuda menghentikan langkahnya menarik troli pakaian dagangannya dan memandang seorang gadis yang berjalan dengan sempoyongan dengan pakaian yang telihat sangat minim dibagian bawah.
"apa kau sengaja merusak rokku?" tanyanya dengan penuh amarah membuat sang pemuda bingung.
"apa kau pura-pura tak tahu?" ujarnya penuh emosi membuat sang pemuda melihat rok gadis yang minim sambil mencari kesalahannya dan mendapati benang merah terkait di trolinya.
"apa kau mesum?"
"maafkan aku, aku tak tahu."
"akan ku ganti."
"maksudmu?"
sang pemuda hanya tersenyum.
sang gadis keluar dari balik troli mengenakan celana jins panjang dari dagangan sang pemuda, sang pemuda duduk di bangku sambil menyuruh sang gadis duduk disampingnya.
"pemuda ini,..." umpat sang gadis kesal, walau begitu ia duduk disampingnya. sang pemuda pun berjongkok dihadapannya.
"apa yang kau lakukan sekarang? jangan macam-macam denganku." ujar sang gadis kaget, tanpa peduli omelan gadis dihadapannya, sang pemuda mencopot high heels dan melihat kaki sang gadis yang terluka. ia pun mengambil obat-obatan yang dibelinya kala sang gadis berganti pakaian,
"aku tak akan tersentuh begitu saja, aku akan menuntutmu nanti." ancam sang gadis yang sepertinya seorang nona besar. tapi sepertinya tak dihiraukan sang pemuda.
secuil memori itu membuat Mega tertegun.
"apakah aku harus menyerah sekarang?" tanyanya sedih.