Kisah
perkenalan Budhisme di Cina merupakan risalah tentang pertemuan dua kebudayaan
besar di Asia yang mempesona. India, tanah kelahiran sang Budha serta tempat
asalnya agama tersebut dan Cina tempat Budhisme berubah menjadi suatu agama dunia,
yang dari sana ajaran sang Budha akhirnya dibawa ke Korea dan Jepang.
Shakyamuni,
seorang pendiri agama Budha bermaksud tidak semata-mata agar Budhismenya
menjadi agama bagi bangsa India sendiri. Budhisme India terbagi dalam dua
kategori utama. Pertama adalah Budhisme
Mahayana atau Budhisme Utara, karena
penyebarannya ke negeri-negeri sebelah utara dan timur India, diantaranya Cina,
Jepang dan Korea. Yang lain adalah Budhisme
Selatan atau Budhisme Theravada yang
menyebar ke negeri-negeri sebelah selatan dan timur India, diantaranya Sri
Lanka, Birma, Negeri Thai, Kamboja, Laos, dan Indonesia.
Agama
Syakyamuni ketika disebarkan dari India ke negeri-negeri lain mempunyai
perbedaan, terlihat dari bahasa dan budayanya. Meskipun inti filsafat agama ini
tetap sama, berbagai penyesuaian dalam adat dan prosedur serta berbagai
pergeseran tekanan doktrin terjadi dalam lingkungan-lingkungan baru tempat
agama tersebut diperkenalkan. Cina contohnya, yang mengembangkan kebudayaan
Budhisme yang berciri khas dari negara tersebut.
Tak
lama setelah Shakyamuni memperoleh pencerahan sambil duduk dibawah pipal yang
disebut pohon Budhi di Budh Gaya, ia
memutuskan tidak akan menyimpan pencerahannya bagi dirinya sendiri, tetapi akan
membaginya kepada orang lain. Sejak saat itu, Budhisme bisa dikatakan sudah
memulai jalan perkembangannya sebagai agama dunia.
Perkenalan
Budhisme di Cina
Masuknya
ajaran Budhisme di Cina terjadi pada tahun ke sepuluh jaman Yung p’ing pada
masa pemerintahan Kaisar Ming dari dinasti Han bagian akhir (25-220 M), tepat
lima ratus tahun sesudah wafatnya Shakyamuni.
Menurut
sebuah catatan, Kaisar Ming bermimpi tentang seorang pria emas yang bertubuh
amat tinggi dan terbang di udara di depan istananya. Setelah Kaisar Ming
menanyakan kepeda menteri-menterinya tentang arti mimpi itu, diceritakan bahwa
pria emas adalah sang Budha, Kaisar Ming lalu mengirim untusan ke daerah-daerah
barat Cina untuk mencari pengetahuan tentang agama Buddhis. Hingga mereka
sampai ke negeri bangsa Yuehchin dibagian utara India. Disana mereka bertemu
dengan dua orang bhiksu Buddhis bernama Chia-she Mo-t’eng dan Chu Fa-Lan yang
memberi arca-arca Budhis sebagai pelambang Buddha dan sutra-sutra sepanjang
enam ratus ribu kata mengenai Hukum atau Dharma.
Terdapat
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pangeran Ying dari Ch’u, adik tiri Kaisar
Ming, menyatakan sanjungannya terhadap agama Buddhis. Menurut biografinya dalam
The History of the Later Han pada
masa muda ia sayang pada para kesatria yang berkelana dan para petualang, senang
menjamu sejumlah tamu di tempat kediamannya.
Pada
tahun ke-8 jaman Yung-p’ing(65 M), Kaisar Ming mengeluarkan sebuah maklumat
yang mengizinkan orang yang dituduh melakukan kejahatan dan akan dihukum mati, untuk
menebus diri mereka dengan membayar sejumlah gulungan sutra kepada pemerintah. Dan
masih banyak bukti-bukti lain yang tak dapat saya urai semuanya disini.
Keadaan
di Asia Tengah
Budhisme
tersebar dari India ke negara Asia Tengah, dikemukakan dalam berbagai kisah, melalui
usaha para penyebar agama yang diutus oleh Raja Ashoka. Bukti peran para penyebar
agama ke Cina dan negeri Asia Selatan lainnya adalah sejumlah istilah Buddhis
yang penting, seperti sha-men
(shramana atau pertapa) dan ch’u-chia
(bhiksu) rupanya bukan secara langsung berasal dari kata-kata sanskerta. Tambahan
pula, istilah-istilah Cina dari mata rantai apa yang disebut dengan Rantai
Sebab Akibat Bermata Dua Belas, yang merupakan salah satu prinsip filsafat
dasar Buddhisme,rupanya diterjemahkan dari sebuah bahasa Tokharia di Asia Tengah.
Kita
tahu bahwa sebagai hasil persentuhan budaya antara Cina dan Asia Tengah
mengakibatkan terbukanya jalan sutera, maka mudah digambarkan bahwa Buddhisme
menemukan jalan masuk Cina melalui rute tersebut.
Dalam hubungan ini, perlu disebut catatan penting
lain mengenai Buddhisme yang terdapat dalam sumber-sumber Cina yang lama, yaitu
dalam karya yang dikenal sebagai A Brief
Account of the Wei yang dihimpun oleh Yu Huan dalam waktu 239 sampai 265M. Dalam
bagian mengenai negara Lin-erh atau Lumbini di Nepal, dilukiskan kelahiran Samg
Buddha dan disebut nama ayah dan ibundanya. Kemudian dijelaskan: “ Pada masa
lalu,waktu pemerintahan Kaisar Ai dari dinasti Han, pada tahun pertama jaman
Yuan-shou (tahun 2S.M), Ching-lu, orang terpelajar, menerima pengajaran lisan
kitab-kitab Buddhis dari Its’un, utusan Raja Yuen-chin Raya. ”
Laporan
ini sangat terpandang bagi para ilmuan dan merupakan salah satu bagian
informasi yang paling berharga mengenai perkenalan Buddhisme di Cina. Walaupun
tidak diuraikan tempat kejadian, keterangan-keterangan tentang
akibat-akibatnya, tetapi mereka memperoleh tanggal yang pasti tentang peristiwa
itu.
Kitab
Buddhisme dalam Terjemahan Bahasa Cina
Mungkin
penerjemah-penerjemah yang paling terkenal kitab Buddisme dalam bahasa Cina adalah
Kumarajiva, Paramartha, Hsuan-tsang dan Pu-k’ung, yang kemudian dikenal sebagai
Empat Bhiksu Penerjemah Agung Kitab Suci.
Yang
mehalangi penerjemahan Cina dari kitab-kitab suci Buddhisme adalah rintangan
bahasa, yang memisahkan peradaban India dan Cina. Tetapi kita harus ingat bahwa
juga terdapat penghalang geografis yang memisahkan kedua negeri itu. Para
penganut yang berapi-api dari negeri Asia Tengah berusaha untuk mengatasi
rintangan fisik itu dan menyampaikan ajaran Buddhisme ke Cina. Kalau bukan
karena peran perantara mereka, Buddhisme mungkin tidak pernah mencapai belahan
Asia lainnya.
Namun
hal ini bukanlah mudah, ketika Buddhisme disebarkan ke Cina dan kitab-kitab
suci harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang termasuk rumpun bahasa yang berbeda
sama sekali, yaitu rumpun bahasa Sino-Tibet. Struktur bahasa Cina berbeda sama
sekali dari Sanskerta dan Pali, yaitu bahasa-bahasa kitab-kitab suci Buddhis. Lagi
pula, bahasa India memakai sistem penulisan yang fonetis, bahasa Cina memakai
sistem ideografis. Karena itu tidaklah realistis untuk mengharapkan bahwa orang
Cina bisa belajar membaca kitab-kitab suci Buddhis dalam bahasa Sanskerta atau
Pali, dan menjadi mutlak perlu menerjemahkan kitab-kitab itu ke dalam bahasa
Cina bila agama tersebut hendak diberi kesempatan untuk diterima secara luas. Para
bhiksu Asia Tengah menjadi perantara antara lingkungan bahasa Cina dan India. Mereka
memakai pengetahuan tentang bahasa kedua daerah itu untuk mengatasi
penghalang-penghalang penyebaran kepercayaan tersebut.
Sebagai
hasil tugas penerjemahan yang dilakukan kurun waktu seribu tahun, Budhisme
mulai sangat mempengaruhi pikiran dan perkembangan bangsa Cina. Paling sedikit
untuk kurun waktu sejak perkenalan Budhisme sampai akhir dinasti Sung Utara (1126),
ketika karya penerjemahan itu dilaksanakan, sangat mustahil untuk membicarakan
sejarah ataupun budaya Cina tanpa memperhitungkan pengaruh Buddhisme. Tambahan
pula, bila kita meninjau waktu seribu tahun ini semasa Cina paling terbuka
untuk menerima ajaran dan pengaruh Buddhis.
Dengan
kata lain, sejarah penerjemahan Buddhis di Cina tidak lain adalah sejarah
kebangkitan, keagungan, dan keruntuhan agama Budha di Cina. Jumlah serta
keunggulan terjemahan ini merupakan salah satu faktor utama yang menimbulkan
penyebaran kepercayaan itu secara kilat serta menimbulkan dampak yang hebat
atas sejarah dan budaya Cina. Tripitaka Cina, atau konon karya-karya Buddhis
yang dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu sutra, aturan disiplin, serta
risalat-risalat.
Sistematisasi
Ajaran
Terdapat
berbagai pandangan tentang bagaiman sejarah Buddhisme Cina harus dibagi-bagi
dalam berbagai periode, salah satunya metode periodisasi. Adalah metode yang
dikemukakan oleh sarjana Jepang, Kogaku Fuse. Teori ini membagi sejarah
Buddhisme Cina ke dalam lima kurun. Yang pertama adalah disebut kurun Ko-i. Kurun ini dimulai dari perkenalan
Buddhisme di Cina pada dinasti Han, melalui jaman Tiga Kerajaan, sampai dinasti
Chin.
Pada
kurun awal ini, sudah menjadi kebiasaan para penjelas ajaran-ajaran Buddhis
untuk meminjam istilah-istilah dari tulisan-tulisan Cina tradisional dari
ajaran Kon Fu Chu dan Taoisme, dan memakai istilah-istilah yang sudah dikenal
itu untuk mencoba menjelaskan istilah-istilah Buddhis yang dianggap mirip
maknanya. Metode penafsiran ini dikenal sebagai Ko’i atau mencocokkan makna.
Mungkin
tidak dapat dihindari bahwa metode penafsiran seperti itu telah dipergunakan
pada tahun-tahun awal Budhisme Cina. Cina sudah memiliki sejarah budaya yang
panjang dan sastra filsafat yang berjilid-jilid banyaknya pada masa perkenalan
Buddhisme serta cara-cara berpikir yang khas di Cina kuna yang dalam banyak hal
berbeda sekali dengan cara berpikir Buddhisme. Oleh karena itu, dapatlah
dimengerti bahwa orang-orang Cina pada
mulanya menjumpai cukup banyak kesulitan dalam memahami ajaran-ajaran agama
India.
Masalah
bagaimana mendamaikan perbedaan dan pertentangan berbagai sutra yang berbeda
kemudian diselesaikan dengan cara yang disarankan diatas. Yaitu bahwa Sang
Buddha berbicara dengan cara yang berbeda pada tahap yang berbeda-beda dalam
khotbah-khotbahnya, dan bahwa diantara ucapan atau sistem pikirannya ada yang
lebih dalam dibandingkan dengan yang lain. Tetapi orang-orang terpelajar
Buddhis waktu itu tidak sepakat perihal sutra atau sutra-sutra mana yang
mewujudkan kurun waktu ajaran-ajaran Buddha, atau bagaimana meningkatkan
berbagai sutra itu menurut manfaat relatifnya. Perbedaan-perbedaan pendapat ini
mendorong terbentuknya berbagai mazhab Buddhisme, dan gejala inilah yang
menyebabkan para sejarawan menyebut tingkat kedua dari Buddhisme Cina sebagai
periode mazhab-mazhab Buddhisme.
Ziarah-ziarah
Para Bhiksu Cina ke India
Orang-orang
Cina mula-mula merupakan sekedar penerima pasif kepercayaan Buddhis. Kadang-kadang
mereka menerima doktrin-doktrin yang dibawa pada mereka oleh para penyebar agama
dari India dan Asia Tengah, kadang-kadang mereka menolaknya karena perasaan
asing yang ada pada mereka. Tetapi setelah Buddhisme tersebar lebih luas
dikalangan penduduk, diantara pengikutnya di Cina ada yang diilhami untuk
memainkan peran yang lebih aktif dalam penyebaran agama, mengadakan perjalanan
ke India supaya mereka belajar lebih banyak tentang ajaran-ajaran Buddhis di
negeri asalnya.
Melihat
keadaan perjalanan yang berbahaya pada jaman itu, tidak ada jaman bahwa para
peziarah yang berangkat melampaui batas-batas Cina sebelah barat yang jauh, akan
kembali ke negeri asal mereka dalam keadaan hidup. Para bhiksu yang berangkat
mengadakan perjalanan panjang ke India, menurut Sutra Teratai “ mempertaruhkan
nyawa ”. Mungkin dalam kadar tertentu justru bahaya dan tantangan perlawatan
itu yang mengilhami begitu banyak orang pada jaman itu untuk melaksanakannya.
Fa-hsien,
seperti diketahui berangkat berziarah ke tempat kelahiran Buddhisme di India
guna memperoleh pengetahuan yang lebih saksama tentang naskah-naskah mengenai
disiplin agama. Perjalanan itu memakan waktu 14 tahun dan berhasil mencapai
maksudnya. Ia kembali ke Cina pada tahun 414 dengan membawa salinan
aturan-aturan disiplin mazhab Mahasamghika.
Pemujaan
Sutra Teratai
Kogaku
Fuse adalah periode eklektis dan sinkretis, karena pada masa itu apa yang
dimaksud tujuh mazhab di Cina Utara dan tiga mazhab Cina Selatan mencoba
memahami ajaran-ajaran masing-masing dan memadukannya menjadi tingkat
penafsiran yang lebih tinggi.
Suatu
saat, Buddhisme Cina Selatan ditandai oleh tekanan yang kuat pada telaah
naskah-naskah Buddhis dan pendekatan tafsir terhadap agama. Berlawanan dengan
pendekatan yang teoritis dan ilmiah ini, Buddhisme dari Cina Utara menekankan
latihan meditasi dan pembacaan sutra, Hui-ssu, seorang bhiksu pada jaman
tersebut yang dibesarkan menurut tata cara Budhisme utara, percaya bahwa
ajaran-ajaran Budhis bukanlah doktrin-doktrin yang harus dipahami secara
intelektual, melainkan berdasarkan kebenaran-kebenaran yang dapat dialami dan
ditegaskan dalam hidup seseorang.
Jelaslah
bahwa betapa pun banyaknya seorang membaca Sutra Teratai, kalau dia gagal
menjangkau arti yang lebih dalam dibalik kata tersebut, maka upayanya itu tidak
mempunyai arti.
Hui-ssu,
seorang bhiksu yang amat terkenal pada jamannya. Diceritakan ketika kerajaan
Cina mengalami carut-marut kehidupan politik dan banyak diantara para rakyat terjadi
permusuhan. Iapun tergerak untuk secara khusus merasa kasihan terhadap negara
dan para rakyat Cina, serta merasa prihatin tentang keadaan rohani mereka, karena
pandangannya mengenai keadaan Buddhisme pada waktu itu. Secara luas dipercayai
dikalangan para Buddhis Mahayana bahwa dalam tahun-tahun setelah wafatnya
Buddha Shakyumi, agama yang didirikannya akan mengalami tiga tingkat atau waktu
perkembangannya yang berbeda-beda. Yang pertama disebut jaman Dharma Tepat, juga
dikenal sebagai Hari Awal Dharma. Menurut beberapa versi teori tersebut, jaman
ini berlangsung selama 500 tahun, sementara menurut orang lain jaman itu sampai
1000 tahun lamanya. Selama jaman ini, ajaran-ajaran Buddhisme berkembang dan
pencerahan secara relatif mudah dapat dicapai.
Jaman
ini diikuti oleh jaman Dharma Tiruan, juga disebut Hari Tengah Dharma. Laporan
mengenai waktunya berbeda-beda, ada yang melukiskannya sepanjang 500 tahun. Selama
jaman ini, Buddhisme menjadi semakin formal dan semakin sedikit orang yang
dapat memperoleh pencerahan melalui praktek-prakteknya. Jaman ini diganti
dengan Akhir Dharma, juga dikenal sebagai Hari Akhir Dharma, yang dikatakan
akan berlangsung selama 10.000 tahu atau lebih. Selama jaman ini, Buddhisme
tertimpa kekacauan, dan menjadi sangat sulit bagi setiap orang untuk mencapai
pencerahan.
Kekacauan
politik dan sosial yang terjadi pada jaman Hui-ssu pasti membenarkan
kepercayaannya bahwa dunia telah memasuki kurun Hari Akhir Dharma, seperti juga
permusuhan dan kekejaman yang dilihat diantara masyarakat Buddhis. Dan tekad
menyali Sutra Teratai dan Sutra Prajna dengan huruf-huruf emas dan menyimpannya
dalam kotak-kotak berpermata, tempat salinan itu akan tersimpan sampai boddhisattva Maitreya, Buddha masa depan,
akan muncul di dunia, menggambarkan kepercayaan itu pula. Hui-ssu meninggalkan
sejumlah tulisan yang mempunyai arti besar dalam perkembangan Sekte T’ien-t’ai.
Chih-i,
Sang Penafsir Sutra Teratai
Chih-i,murid
Hui-ssu yang paling terkemuka dan disebut sebagai Guru Agung T’ien-t’ai di
Provinsi Chekiang.
Cina
pada jaman Chih-i, khususnya Cina Selatan, dikuasai oleh suku-suku bangsawan
yang besar, dan Buddhisme cenderung menjadi monopoli kaum bangsawan dan kelas
cendekiawan. Meskipun demikian,prinsip-prinsip asas yang mendasari Sutra Teratai yang membentuk inti ajaran
Mahayana, prinsip-prinsip itu menunjuk pada gaya hidup atau sifat Sang Buddha
yang sama-sama terdapat pada setiap orang, tanpa memandang kelahiran atau
kedudukan sosial, dan mempersilakan perorangan untuk membangkitkan sifat tersebut
didalam dirinya guna mengembangkan kemampuan tak terbatas untuk kebijaksanaan
dan pemahaman, dan dengan cara itu menciptakan bagi dirinya sebuah kehidupan
yang benar-benar bahagia dan penuh keberuntungan.
Ketiga
tulisan utama T’ien-t’ai Chih-i mempunyai tempat penting yang tak tertandingi
dalam sejarah Buddhisme Cina, dan sesungguhnya juga dalam sejarah Buddhisme
Mahayana sebagai keseluruhan. Nichiren Daishonin,yang menulis tentang
tulisan-tulisan itu didalam karyanya berjudul Selection of the Time, berkata:
“ sekitar pertengahan dari seribu tahun Hari Tengah
Dharma, Guru Agung T’ien-t’ai Chih-che tampil. Dalam 10 jilid dan 1000 lembar
karya Profound Meaning of the Lotus Sutra(Makna
Dalam dari Sutra Teratai), ia membicarakan secara rinci makna kelima huruf yang
membentuk judal Sutra Teratai, Myoho-renge-kyo
dan masih banyak lagi. Ungkapan-ungkapan dalam karya T’ien-t’ai melampaui
karya-karya semua pakar yang hidup di India selama seribu tahun Hari Awal
Dharma, dan lebih unggul daripada tafsir para guru yang hidup di Cina selama
500 tahun sebelum T’ien-t’ai.”
Menjadi
kebiasaan di Jepang untuk mengacu pada tiga karya utama T’ien-t’ai Chih-i
seperti Gen(Hokke Gengi, The Profound
Meaning of the Lotus Sutra), Mon(Hokke Mongu, Word and Phrases of the Lotus Sutra),
dan Shikan(Maha Shikan, Great
Concentration and Insight).
Isi Word and
Phrases ada dalam kutipan dari NichirenDaishonin,karyanya merupakan
penjelasan yang mendalam tentang terjemahan Cina dari Sutra Teratai yang dilengkapi oleh Kumarajiva pada tahun 406. Masing-masing
bab dari ke-10 bab bab yang ada dibagi menjadi dua bagian. Dengan memeriksa
berbagai istilah dan ungkapan sutra itu. Chih-i menafsirkannya dengan melihat
empat garis pedoman: (1) sebab-sebab dan keadaan-keadaan, atau empat cara
pemberian wejangan, yang berbeda menurut keadaan pemberi penjelasan dan
pendengar-pendengarnya; (2) ajaran-ajaran yang berhubungan, atau empat jenis
wejangan yang berbeda; (3) ajaran-ajaran teoritis dan inti; (4) kanjin, atau penghayatan kebenaran
melalui pengamatan pikiran.
Mengenai The
Profound Meaning of the Lotus Sutra dikenal sebagai delapan doktrin
menggolongkan ajaran-ajaran Sang Buddha bukan berdasarkan periode kronologis, tetapi
berdasarkan metode-metode mengajar yang dipakai dan isi perjalanan. Metode tersebut
dibedakan menjadi empat kategori. Pertama adalah metode doktrin mendadak atau
tiba-tiba, ketika Sang Buddha menyampaikan pesannya tanpa pengajaran
pendahuluan apapun tetapi para pendengarnya dapat menangkap maksud Sang Buddha.
Kedua adalah metode doktrin bertahap, yang membina para pendengar selangkah
demi selangkah, mulai pengajaran yang kurang maju sampai yang lebih sulit. Ketiga
adalah metode doktrin rahasia dimana Sang Buddha dalam memberi nasehat, sehingga
masing-masing pendengar memperoleh manfaat dari ajaran-ajaran yang berbeda-beda
menurut tingkat kemampuan mereka masing-masing. Keempat adalah metode doktrin
yang tidak ditentukan, yang dipahami secara berbeda oleh perorangan yang
beragam.
Pembagian kelipatan empat lainnya yang membentuk
sistem 8 doktrin berhubungan dengan isi ajaran-ajaran. Kategori pertama adalah
ajaran Hinayana. Yang kedua adalah ajaran-ajaran yang berhubungan, secara umum
dengan Hinaya maupun Mahayana dasar. Ketiga adalah ajaran-ajaran khusus, yang
disampaikan terutama kepada para boddhisattva. Keempat adalah ajaran-ajaran
yang bulat atau sempurna, yang mengajarkan penyatuan ketiga kebenaran atau
kebenaran Jalan Tengah. Dalam sistem klasifikasi ini, seperti di dalam
klasifikasi lima periode, kategori terakhir mewakili pernyataan tertinggi
tentang kebenaran.
Konsep filsafat terpenting yang dikemukakan di dalam
Great Concentration and Insight,
ialah mengenai Tiga Ribu Gagasan Dalam Suatu Saat Hidup. Konsep ini, yang
dibangun oleh Chih-i berdasarkan ajaran-ajaran di dalam Sutra Teratai, mewakili
suatu usaha untuk menjelaskan hubungan yang termasuk, yang timbal balik tentang
kebenaran terakhir dan gejala-gejala dunia, tentang hal yang mutlak dan yang
relatif.
Hsuan-tsang
dan Perjalanannya ke India
Dinasti T’ang (618-907), salah satu kurun waktu
paling terpandang dalam budaya tradisional Cina. Kurun itu juga menandai jaman
emas Buddhisme di Cina, jaman ketika agama mencapai puncak-puncak kekuasaan dan
popularitas yang belum pernah dikenal sebelumnya dan tidak akan dialami lagi.
Pada dinasti T’ang tercatat adanya sifat
kosmopolitan budaya, kedutaan-kedutaan dari negeri sekitar Cina, seperti Jepang
dan Korea serta negara-negara Asia Selatan dan Tengah, mengunjungi ibukota
T’ang di Ch’ang-an, sehingga pengaruh budaya T’ang meluas ke segala jurusan.
Kosmopolitanisme juga menjadi kunci karier salah
seorang tokoh Buddhis terkemuka jaman itu, yaitu bhiksu Hsuan-tsang (602-664).
Ia tergabung pada Wei-shi atau Mazhab Kesadaran Semata, yang didasarkan pada
ajaran-ajaran Yogachara atau Vijnanavada dari India. Di Jepang dihormati
sebagai pendiri Mazhab Hosso.
Pada masa mudanya Hsuan-tsang belajar kepada banyak
guru di Cina. Ia mencurahkan perhatiannya pada Vinaya, atau peraturan disiplin bhiksu. Namun ia terganggu oleh
perbedaan-perbedaan pendapat yang muncul dalam berbagai karya yang telah ia
baca dan merasa bahwa rasa bingungnya hanya dapat diselesaikan dengan
mengadakan perjalanan ke negeri asal agama Buddha.
Dengan tekad membara untuk mengadakan perjalanan ke
India harus terhenti karena surat untuk meninggalkan Cina ditolak oleh pemerintahan
Cina. Tapi Hsuan-tsang tetap ingin pergi sehingga ada sumber yang mengatakan
bahwa penguasa T’ang, Kaisar T’ai-tsung memberikan hadiah paspor dan hadiah-hadiah lainnya karena
terharu akan keteguhan hatinya.
Pada halaman-halaman sebelumnya, saya telah membahas
skema dari Kogaku Fuse untuk periodisasi sejarah Buddhisme Cina yang didalamnya
Profesor Fuse menyarankan untuk membagi menjadi lima bagian. Periode keempat
dalam skema ini, yang dikenal sebagai jaman sekte-sekte Buddhisme atau periode
sekte, mulai dengan kembalinya Hsuan-tsang ke Ch’ang-an pada tahun 645. Menurut
Profesor Fuse, Hsuan-tsang berperan penting dalam memperkenalkan kesadaran
bersekte demikian di dalam dunia Buddhisme Cina.
Ajaran-ajaran yang didukung oleh Hsuan-tsang
mewakili kemunduran doktrin dalam pembangunan keseluruhan Buddhisme di Cina.
Salah satu tujuan Hsuan-tsang ketika pergi ke India adalah untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih seksama tentang ajaran-ajaran Asanga dan Vasabandhu,
khususnya penjelasan rinci mereka tentang ajaran kesadaran semata. Namun
sekembali Hsuan-tsang dari India, rupanya ia kurang berminat untuk menguraikan
ajaran-ajaran Kesadaran Semata sebagaimana ditafsirkan oleh Asanga dan
Vasubandhu. Maka, meskipun Hsuan-tsang terkenal karena telah berusaha
menyebarkan ilmu tentang doktrin-doktrin Kesadaran Semata, ia hanya mengajarkan
versi doktrin-doktrin itu yang berasal dari Treatise
on the Establisment of the Consciousness-only System (Risalah tentang
Pembentukan Sistem Kesadaran Semata) oleh Dharmapala, dan menolak versi-versi
lain seperti yang diuraikan di dalam Mahayana Samgraha oleh Asanga. Dalam
hal-hal lain pun, ajaran-ajaran yang berasal dari Hsuan-tsang adalah suatu
kemunduran doktrin.
Oleh karena itu, di dalam perkembangan umum
Buddhisme Cina, ajaran-ajaran Hsuan-tsang merupakan pembalikan arah. Bahkan
sebelum penampilan T’ien-t’ai Chih-i, mazhab-mazhab Buddhisme selatan di Cina
pada umumnya bersepakat bahwa para icchantika
dapat mencapai Alam ke-Buddha-an, dan bahwa Tiga Wahana merupakan sejenis
ajaran kebijaksanaan, yang akan diganti oleh doktrin Satu Wahana. Setelah
Chih-i tampil, pandangan-pandangan ini bahkan lebih diterima secara luas dalam
kalangan Buddhis Cina.
Pada masa mudanya, Hsuan-tsang rupanya terbakar oleh
idealisme yang menggebu-gebu, yakni suatu tekad untuk mencari kebenaran yang
mengakibatkan ia memulai perjalanannya yang panjang dan sulit ke India. Tetapi,
mungkin karena kelelahan yang disebabkan oleh perjalanan yang bertahun-tahun,
saat kembali ke Cina kegiatannya sedikit mengecewakan. Ia bukan menjadi seorang
rokhanian, tetapi ia puas dengan pekerjaannya menjadi penerjemah. Namun
karya-karya yang dipilihnya untuk diterjemahkan serta ajaran-ajaran yang
ditekankan bersifat sangat filsafat dan mustahil.
Buddhisme
T’ang dan Hasil yang Dicapai Miao-lo Chan-jan
Hasil yang dicapai oleh Chan-jan
(711-782), kepala keluarga keenam dari Buddhisme T’ien-t’ai. Ia dikenal sebagai
Ching-hsi Chanjan atau anumerta Guru Agung Miao-lo.
Menurut Record of the Lineage of the
Patriarchs, Chan-jan menerima panggilan-panggilan kekaisaran dari tiga penguasa
T’ang, yaitu Kaisar Hsuan-tsung, Kaisar Su-tsung (711-726), dan Kaisar Tai-tsung
(726-779). Namun pada ketiga kejadian itu Chan-jan, yang saat itu sedang
tinggal di Gunung T’ien-t’ai, menolak untuk menerima panggilan mereka, dengan
alasan sedang sakit. Namun demikian, agaknya tidak lebih dari sekedar alasan
saja, karena ia tidak ingin bergabung dengan istana yang memberikan dukungan
pada ajaran-ajaran eksoterik.
Tulisan Chan-jan terbagi dalam dua
kelompok utama, yaitu karya tafsiran dan karya polemik. Mengenai yang pertama
adalah sebuah kritik terhadap tiga karya utama Chih-i, sementara tulisan atau
karya polemik dirancang untuk menyanggah ajaran sekte-sekte Hua-yen, Fa-shiang,
dan Ch’an.
Meskipun tulisan-tulisan polemik itu
menarik, tidak dapat disangkal bahwa keberhasilan Chan-jan yang sebenarnya
terletak dalam karya-karya tafsirnya, khususnya komentar yang teliti dan
terinci atas ketiga karya utama Chih-i, suatu karya yang dikerjakan selama
hampir seluruh hidupnya. Ia tidak mengenal 3waktu dalam usaha menemukan makna
tulisan-tulisan Chih-i. Sehingga ia dapat menjadi seorang pakar doktrin-doktrin
T’ien-t’ai, yang mewakili sistem filsafat yang paling mulia dan paling rumit
dari seluruh Buddhisme Cina pada waktu itu. Perlu pula dicatat, semenjak
Chan-jan menjelaskan doktrin-doktrin yang diuraikan Chih-i, dalam beberapa hal
ia juga memperluas dan memperdalam ajaran serta filsafat sekte tersebut.
Sebelum jaman Chan-jan, doktrin
Hua-yen dipandang sebagai pernyataan tertinggi dan logika paling maju dari
filsafat Buddhis. Tetapi Chan-jan mengubah keadaan tersebut dan berhasil
menempatkan ajaran-ajaran T’ien-t’ai pada kedudukan terkemuka dengan memperluas
dan membawanya pada bentuk yang amat tinggi perkembangannya. Chan-jan juga
berperan penting dalam proses ketika doktrin T’ien-t’ai disebarkan ke Jepang.
Chan-jan adalah seorang yang tidak bersikap pasif dalam membela apa yang
dianggapnya sebagai prinsip-prinsip Buddhisme yang benar. Dengan penuh semangat
ia membantai kesalahan-kesalahan sekte yang ada dan kemudian mengadakan
perjalanan jauh di Cina Utara dan Selatan hingga ke Sungai Yangtze di sebelah
barat untuk menyebarkan sekte T’ien-t’ai.
Pengejaran
Buddhisme
Orang
Cina biasanya menyebut para pengejar Buddhis dengan nama “ Tiga Wu dan Satu
Tsung “, karena tiga pengejaran diantaranya terjadi pada masa pemerintahan
kaisar-kaisar dengan nama anumerta yang mengandung kata wu, dan yang keempat terjadi pada masa pemerintahan kaisar dengan
anumerta Shih-tsung sehingga menjadi satu
tsung.
Dimulai dengan “ Tiga Wu “, yaitu
pengejaran yang terjadi dibawah Kaisar T’ai-wu dari dinasti Wei Utara, Kaisar
Wu-tsung dari dinasti T’ang. Namun masyarakat Buddhis di Cina mengalami lebih
banyak daripada pengejaran dan gangguan yang dilakukan oleh hanya “ Tiga Wu dan
Satu Tsung “ saja. Itu semata-mata merupakan pengejaran terhadap orang yang
paling terkemuka, yaitu mereka yang menyelenggerakan kesempunaan yang
sebesar-besaarnya dan secara menyeluruh dibawah pengawasan pemerintah.
Penting untuk diperhatikan adanya
kenyataan bahwa para kaisar yang
mengadakan ketiga pengejaran pertama semuanya menyandang nama anumerta wu didalamnya. Kalau seorang penguasa di
Cina meninggal, sudah menjadi kebiasaan untuk dipilihkan dan diberi nama
anumerta yang mencerminkan karakter atau sifat pemerintahannya. Kata wu berarti: suka berperang atau
bersifat militer dan disandang oleh para penguasa dengan pemerintahan dan
tekanan khusus pada penaklukan atau penerapan kekuatan militer.
Pengejaran pertama terjadi pada
jaman pemerintahan Kaisar T’ai-wu dari dinasti Wei Utara (386-534) di Cina
Utara, ia adalah penganut Taoisme yang menginginkan agama Taoisme mejadi agama
resmi negara. Tak lama kemudian ia mengambil langkah menindas agama Buddhis,
yaitu saingan utama Taoisme. Pada tahun 446, secara resmi ia memerintahkan
pembasmian agama Buddhis.
Catatan jaman itu mengungkapkan
bahwa sesungguhnya divisi tentara setempat dikirimkan untuk merampas dan
membakar kuil-kuil Buddhis sedangkan segenap bhiksu dan bhiksuni dipaksa
kembali ke kehidupan sekulera. Mereka yang mencoba melarikan diri atau
bersembunyi dikejar dan ditangkap, kepala mereka dipenggal dan dipertontonkan
sebagai peringatan bagi penduduk. Jadi penganiayaan itu benar-benar berat
sekali dan sampai akar-akarnya. Konon, sebagai hasilnya, di seluruh wilayah Wei
Utara tidak dapat ditemukan sebuah kuil Buddhis atau seorang bhiksu atau
bhiksuni sekalipun.
Faktor-faktor apa yang kiranya
menyebabkan pemerintah melancarkan penindasan Buddhisme yang begitu ganas?
Pertama adalah kenyataan bahwa biara-biara Buddhis dianggap sebagai badan-badan
yang kurang menguntungkan dan tidak produktif dalam masyarakat sedangkan para
biarawan adalah penghindar dinas wajib militer. Perintah permulaan untuk
mengembalikan semua bhiksu dibawah usia lima puluh tahun ke kehidupan sekuler
dimaksudkan untuk menambah jumlah pria yang memenuhi syarat dinas wajib
militer. Dengan kata lain, dari kacamata negara Cina, khususnya pada masa
perang, bhiksu-bhiksu Buddhis yang melantunkan sutra-sutra mereka dan
mengajarkan doktrin agama asing, tidak lebih dari sekedar penganggur-penganggur
yang menikmati hak istimewa yang tidak menyumbangkan apa pun bagi masyarakat.
Kenyataan lain yang menarik
perhatian, apabila meneliti sejarah pengejaran terhadap Buddhisme di Cina
adalah bahwa dalam banyak hal disebabkan oleh adanya pertentangan atau
persaingan antara Buddhisme dan agama-agama atau sistem-sistem berpikir
tradisional di Cina yang lebih kuno, khususnya Konfusianisme serta Taoisme.
Keempat pengejaran besar-besaran
terhadap Buddhisme, yaitu oleh Satu Tsung
dilakukan pada tahun 955 oleh Kaisar Shih-tsung dari dinasti Chou (951-960).
Berbeda dengan pengejaran sebelumnya, pengejaran ini bukan merupakan usaha
untuk membasmi agama Buddha secara tuntas, melainkan untuk mengubah dan mengatur serta membawa
Buddhisme langsung dibawah kendali pemerintah. Tindakan itu berupa larangan
pentahbisan bhiksu dan bhiksuni yang dilakukan sendiri, mendirikan sejumlah
program pentahbisan yang diakui secara resmi, dan mengumumkan bahwa orang yang
ingin memasuki kehidupan bhiksu Buddhis harus berada dibawah pengawasan
pemerintah. Serta dilarang mengadakan kebaktian pada malam hari dan dilarang
mendirikan kuil-kuil baru. Kuil yang belum diakui secara resmi harus ditiadakan
atau digabung dengan kuil-kuil yang sudah mendapat pengakuan resmi.
Ciri-Ciri
Buddhisme Cina
Sejarah tentang pengejaran terhadap Buddhisme di
Cina menunjukkan adanya kenyataan lain yang penting tentang Buddhisme Cina.
Yaitu Buddhisme Cina tidak pernah bertumpu pada bantuan yang tetap atau pada
perlindungan kalangan pemerintah ketika menyebarkan ajarannya. Sejak dahulu
kala, para kaisar Cina sepenuhnya menjalankan kekuasaan mutlak dalam
pemerintahan mereka. Diantara mereka terdapat Buddhis yang patuh, tetapi
keyakinan pribadi keagamaan hanya merupakan satu segi kehidupan mereka. Dalam
hal ini mereka bertolak belakang dengan kebanyakan penguasa kristen di Eropa,
yang menempatkan diri sebagai penyebar dan pembela kepercayaan. Di Cina,
penyebaran Buddhisme di kalangan rakyat banyak adalah hasil usaha para bhiksu
dan pimpinan agama setempat, kadang-kadang atas persetujuan pejabat pemerintah,
kadang-kadang tidak. Bahkan mungkin siklus yang berulang-ulang dari penindasan
pemerintah yang diikuti masa persetujuan, yang menyebabkan agama itu menyebar
dari daerah ibukota ke provinsi terpencil dan menanamkan akar yang kuat pada
penduduk secara keseluruhan.
Meskipun ada atau justru karena
pengejaran itu, tidak dapat disangkal bahwa Buddhisme dapat bertahan lebih lama
di Cina dan berpijak lebih kokoh pada masyarakat bangsa itu, dibandingkan
dengan kepercayaan atau sistem berpikir asing, yang diperkenalkan ke negeri tersebut
selama 3000 tahun sejarah budayanya yang panjang. Nerstorianisme,
Zoroastrianisme, Islam serta ajaran-ajaran Kristen Katolik dan Protestan yang
telah diperkenalkan di Cina, tetapi tidak ada yang mempunyai pengaruh
sedemikian besar ataupun sedemikian lamanya terhadap kehidupan dan pikiran Cina
seperti Buddhisme.
DAFTAR PUSTAKA
Ikeda,Daisaku.
1992. Bunga Buddhisme Cina. Jakarta: PT
Intermasa.